Hai, I'm Kristi Aprilita
-Menulis dan Berbagi-
RSS

Wednesday 24 October 2012

Kajian Ayat Dan Surat Al-Qur’an


Kajian Ayat Dan Surat Al-Qur’an

Dalam konteks sejarah awal kaum muslim, teks al-Qur’an merupakan yang berupa mushaf seperti yang dapat dilihat sekarang ini adalah ayat-ayat yang terpisah dan berserakan. Ayat-ayat yang turun selama masa kerasulan Muhammad saw—yang antara satu atau beberapa ayat dengan ayat yang lain diselingi beberapa waktu—tidaklah segera dikodifikasikan pada masa itu. Tetapi, atas perintah Nabi, di samping menyuruh hafalkan kepada para sahabat, ayat-ayat tersebut ditulis di atas pelepah-pelepah kurma, batu-batu dan tulang-tulang unta (al-Shabuni, 1985: 53). Penulisan ini, seperti yang diceritakan Ibnu Ishaq, langsung diharapan Rasul sendiri (al-Zanjani, 1986: 65). Tiba pada masa khalifah Abu Bakar, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin Khatab atas banyaknya huffazh yang syahid, ayat-ayat yang berserakan tersebut lalu dikumpulkan dan di tulis kembali hingga menjadi sebuah mushaf al-Qur’an.
Mushaf al-Qur’an ini terdiri sejumlah surat dengan nama-nama tersendiri dan juga sejumlah ayat dengan nomor urut tersendiri. Pembagian al-Qur’an ke dalam surat dan ayat tentu memiliki makna yang jelas. Setidaknya di samping menjadi lebih sistematis, akan memudahkan orang untuk membaca, mempelajari dan menghafalnya al-Qur’an. Sunnah mengharuskan orang yang shalat atau khutbah untuk membaca ayat al-Qur’an yang tidak boleh kurang dari satu ayat tidaklah menjadi sulit, tetapi malah sebaliknya akan dapat terpenuhi dengan mudah. Demikian juga dengan keharusan bagi orang yang belum mampu membaca al-Fatihah dalam shalatnya, maka ia dengan mudah dapat membaca tujuh ayat lainnya.
Di samping pembagian ke dalam surat dan ayat, al-Qur’an juga dibagi dalam bagian-bagian atau juz yang sama yang keseluruhannya berjumlah 30 juz. Pembagian al-Qur’an menjadi 30 juz berkaitan dengan jumlah hari dalam bulan Ramadhan, ketika satu juz al-Qur’an dibaca setiap harinya. Tetapi, bagian atau juz al-Qur’an tampaknya kurang diperhitungkan untuk menjadi pembicaraan dalam pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an. Berbeda dengan pembicaraan tentang surat dan ayat, banyak persoalan dan komentar tentangnya bahkan satu sama lain saling berbeda bahkan bertolak belakang.
Tulisan ini mencoba menyajikan persoalan dan komentar ulama sekitar surat dan ayat-ayat al-Qur’an. Tetapi tulisan ini tidak disajikan seluas mungkin hingga menghabiskan banyak halaman. Karena keterbatasan tempat, tulisan ini hanya menyajikan bagian-bagian dirasa cukup penting seperti batasan ayat dan surat, jumlah, susunan surat dan ayat, huruf-huruf muqatha’ah dan lain-lain.

BATASAN SURAT DAN AYAT
Dalam leksikologi Arab, kata surat (jamak: suwar) mengandung banyak arti, yaitu: bangunan yang menjulang tinggi ke langit, kedudukan/tempat dan keutamaan (Louis Ma’luf, tt: 362). Juga bisa berarti pagar jika terambil dari kata سور . Seperti yang dikatakan W. Montgomery Watt yang dikutipnya dari CF. Jeffery, bahwa pandangan umum asal kata ini adalah bahasa Ibrani, surah, yang berarti suatu deretan bekas batu bata di dinding dan bekas pepohonan anggur. (Watt, 1991: 90). Dari makna ini surat disimpulkan menjadi “serangkaian bagian” atau “bab” (Inggris: chapter). Tetapi, meskipun penyimpulan ini relevans, Watt mencari alternatif lain. Karena dari beberapa tantangan yang dimajukan, al-Qur’an meminta orang yang tidak membenarkan dirinya mendatangkan sebuah surat (QS. 10: 38), sepuluh surat (QS. 11: 13) dan sebuah kitab (QS. 28: 49) yang semisal dengannya. Dari beberapa permintaan al-Qur’an ini jelas bahwa makna yang dimaksudkan adalah sesuatu yang seperti wahyu atau kitab suci. Alternatif yang diajukan Watt adalah bahwa kata surat terambil dari bahasa Siria, surta yang bermakna “tulisan teks kitab suci”, atau bahkan “kitab suci”. (Watt: 1991: 90).
Alternatif Watt yang menyatakan bahwa surat yang bermakna tulisan atau teks kitab suci mungkin dapat diterima, tetapi bila itu diartikan kitab suci secara sebagai suatu kesatuan tentu saja kita akan mengalami kesulitan bila al-Qur’an meminta untuk didatangkan sepuluh surat berarti yang dimaksud adalah sepuluh kitab suci yang sama. Sungguh tantangan yang vulgar tak masuk akal dan tak dapat diterima. Padahal tantangan al-Qur’an merupakan tantangan yang sunguh-sungguh.
Pada sisi terminologis, kita tidak melihat batasan surat dalam perspektif yang berbeda. Pada umumnya memberikan batasan yang sama tentu dengan sedikit penjelasan tambahan yang berbeda. Al-Zarkasyi misalnya menjelaskan pengertian surat dengan “sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan penutup” (al-Zarqasyi, t.t: I, 263). Al-Zarqani memberikan sedikit tambahan bahwa sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan akhir itu adalah berdiri sendiri (Al-Zarqani, 1988: I, 350). Tetapi, meskipun sekelompok ayat dimaksud berdiri sendiri, namun satu sama lain dipercaya berhubungan erat saling melengkapi, sehingga ada yang mengatakan bahwa surat al-Fatihah adalah pengatra surat al-Baqarah, dan surat al-Baqarah adalah pengantar surat al-Nisa’ dan seterusnya.
Batasan surat yang dikemukakan oleh pakar-pakar ilmu al-Qur’an sebagai sekelompok ayat-ayat tampaknya cukup beralasan. Karena al-Qur’an sendiri tampaknya menghendaki pengertian demikian. Al-Qur’an menggunakan kata surat dalam ungkapannya sebanyak 7 kali dalam bentuk mufrad yang tersebar 3 surat, yaitu surat al-Tawbah: 64, 86, dan 124, surat al-Nur: 1 dan surat Muhammad: 20 dengan dua kali penyebutan. Sedang bentuk jamaknya hanya satu kali digunakan al-Qur’an dalam surat Hud: 13. Penggunaan kata surat adalah dalam pengertian yang sama yakni merujuk pada sekumpulan ayat-ayat al-Qur’an.
Surat-surat al-Qur’an antara satu sama lainnya, baik dalam mushaf yang ditulis tangan maupun cetak, dipisahkan dengan sebuah muqaddimah yang diletakkan di awal surat. Dalam muqaddimah ini, biasanya pertama-tama disebutkan nama surat, kemudian pernyataan tentang penanggalannya, yakni diskripsi sederhana tentang surat tersebut apakah sebagai surat Makiyah atau Madaniyah , dan diakhiri dengan catatan tentang jumlah ayat. Muqaddimah ini seperti yang dikatakan Watt hanya perlengkapan keserjanaan belaka (Watt, 1991: 93). Setelah muqaddimah disusul dengan basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم) pada setiap surat. Pengecualian penggunanaan frase tersebut hanya pada surat 9. Penulisan basmalah pada setiap surat tentu tak dapat dipandang sebagai hasil penyuntingan yang belakangan, tetapi merupakan bentuk asli yang datang dari Muhammad saw. Hal ini cukup beralasan karena pada surat 27 atau surat al-Naml ayat 30 dimana Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Balqis, ungkapan basmalah mengawali suratnya seakan-akan kepala yang memadai untuk sebuah dokumen yang berasal dari seorang nabi.
Panjang pendek surat-surat al-Qur’an sangat beragam, tetapi dalam susunannya setelah surat al-Fatihah (pembukaan) surat-surat al-Qur’an dimulai dengan surat yang sangat panjang dengan ayat-ayat yang panjang, kemudian semakin lama semakin pendek dengan ayat-ayat yang pendek pula. Surat al-Baqarah yang terletak sesudah surat al-Fatihah merupakan surat yang terpanjang dengan jumlah ayat sebanyak 286 ayat atau lebih dari dua juz, sedangkan surat terpendek surat al-Kawtsar dengan 3 ayat yang pendek-pendek. Walaupun surat al-Kawtsar ini adalah surat yang terpendek dengan ayat-ayatnya yang pendek namun tidaklah terletak pada penghujung atau penutup surat-surat al-Qur’an, tetapi menempati nomor urut 108 dari 114 surat semuanya.
Sementara itu, kata ayat yang juga digunakan oleh al-Qur’an beberapa kali merujuk pada makna yang berbeda-beda. Di antara makna-makna etimologis ayat tersebut adalah: tanda (QS. al-Hijr: 77; al-Nahl: 11, 13, 65, 67, dan 69; al-Baqarah, 248); mukjizat (QS. al-Baqarah: 211); ibrah atau pelajaran (QS. Hud: 102, 103 dan al-Furqan: 37); sesuatu yang menakjubkan (QS. al-Mukmin: 50); bukti atau dalil (QS. al-Rum: 20, 21, 23, dan 24).
Akan tetapi, secara terminologis para ulama memberi batasan ayat dengan sekelompok kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada dalam suatu surat al-Qur’an (al-Zarqani, 1988: I, 350). Batasan ini didukung oleh al-Qur’an sendiri yang mengungkapkan ayat dengan pengertian tersebut sehingga makana etimologis tetap relevans dengan pengertian terminologis. Salah satunya adalah dalam surat Yusuf ayat 1:
الر تلك ءايات الكتاب المبين
Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah)
Seperti halnya surat, panjang pendek ayat juga sangat beragam. Dalam beberapa surat, pada umumnya surat-surat panjang, ayat-ayat pun yang panjang dan menggugah. Sedangkan dalam surat-surat pendek yang terletak di bagian akhir al-Qur’an, surat-suratnya pun pendek, padat dan mengena. Namun kenyataan seperti itu bukanlah aturan yang mutlak. Sebab, surat 98 atau surat al-Baiyinah berisi 6 ayat panjang untuk ukuran surat-surat yang bersamanya. Demikian pula pada surat 26 atau surat al-Syu’ara yang tergolong surat yang panjang berisi lebih dari 100 ayat yang pendek-pendek. Pada ayat-ayat yang panjang yang terdapat dalam surat yang panjang, bentuk ungkapannya sangat beragam, tak dapat ditentukan matra yang baku, baik pada suku-suku kata atau pada tekanan. Pada umumnya akhiran-akhiran dari ayat tersebut adalah bunyi yang dibentuk dengan akhiran kata benda dan kata kerja berbentuk jamak, -un dan –in, diselang-seling dengan kata bentukan yang secara teknis disebut fail, salah satu bentuk yang paling umum di dalam bahsa Arab. Sebagai contoh تعقلون، يتفكرمن dan ظالمون، كافرون. Dan inilah bentuk yang umum dan paling banyak digunakan. Tetapi juga terkadang dengan akhiran vokal panjang a. Sedangkan pada ayat-ayat yang pendek-pendek memiliki irama dan ritma yang juga sangat bervariasi. Terkadang semua atau sebagian besar ayat-ayatnya berakhiran ud, ha dan lain-lain.

PENAMAAN SURAT
Surat-surat al-Qur’an tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Sebuah surat boleh jadi mempunyai satu atau beberapa nama. Surat al-Tawbah misalnya, disebut juga dengan surat al-Bara’ah, dan al-Buhus. Surat al-Insan dinamai pula dengan surat al-Dahr, dan lain-lain. Tetapi, nama-nama surat tersebut tidaklah menunjukan judul atau tema pokok dari surat-surat tersebut—meskipun tak dapat dipungkiri bahwa setiap surat mempunyai tema—tetapi hanya dijadikan sebagai alat metode identifikasi. Nama-nama surat ini diambil dari kata yang mencolok atau tidak lazim di dalamnya. Biasanya kata ini muncul hampir di awal surat, tetapi tidak demikian selamanya. Surat 16 misalnya, diberi nama dengan surat al-Nahl (lebah) tetapi tidak disebutkan di dalamnya hingga pada ayat 68 lebih separuh dari surat tersebut; bahkan ayat ini (16: 68) merupakan satu-satunya bagian dari al-Qur’an yang berbicara tentang al-Nahl. Senada dengan ini, surat 26 diberi nama dengan al-Syu’ara, kata yang disebutkan al-Qur’an di dalam ayat 224 surat tersebut dan merupakan bagian paling akhir dari surat tersebut.
Jelas sekali bahwa nama-nama surat ini tidak berasal dari al-Qur’an, tetapi diperkenalkan oleh para-pakar al-Qur’an. Tampaknya tidak ada aturan yang umum dalam pemilihan nama-nama surat tersebut. Orang-orang menggunakan kata apa saja yang paling menonjol dalam suatu surat. Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat al-Qur’an ini adalah petunjuk Rasul (tawqifi). (petunjuk Rasul). Sedangkan sebagian lagi percaya bahwa penamaan surat tersebut berdasarkan jitihad sahabat yang diambil dari pokok pembicaraan dalam surat itu. (Ismail, tt: 66). Tetapi, tampaknya yang lebih masuk akal adalah bahwa Nabi sangat berperan dalam mensosialisasikan nama-nama surat. Tidak mungkin Nabi saw sebagai transmiter dan penerjemah al-Qur’an untuk para sahabat tidak memiliki nama-nama surat sebagai alat identifikasi. Yang jelas sejak masa yang paling awal Nabi dan sahabat-sahabat telah mengetahui dan mempopulerkan nama-nama surat al-Qur’an.
Di samping nama-nama yang secara an sich diberikan kepada surat-surat al-Qur’an untuk kepentingan identifikasi, juga diberi nama-nama kelompok untuk surat al-Qur’an, baik yang terkait dengan periode kerasulan Muhammad seperti surat Makiyah dan surat Madaniyah, ataupun panjang pendeknya surat-surat al-Qur’an tersebut. Pengelompokan surat-surat al-Qur’an yang terkait dengan periode kerasulan dimaksudkan untuk kepentingan kronologis turunnya surat atau ayat untuk kepentingan penafsiran al-Qur’an, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Sementara penamaan surat-surat yang berdasarkan panjang pendeknya surat tampaknya hanya untuk identifikasi dalam kerangka yang lebih luas. Al-thiwal, misalnya adalah surat-surat yang dikenal dengan tujuh surat yang panjang yang terdapat pada permulaan mushaf, yaitu surat 2 – 8 (surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Nisa’, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal). Al-mi’un adalah nama yang diberikan kepada surat-surat yang ayatnya seratus atau lebih sedikit. Al-matsani, dikenal sebagai surat-surat yang jumlah ayatnya yang tidak mencapai 100 ayat. Sedangkan al-mufashshal adalah surat-surat yang lebih pendek. Disebut dengan mufashshal karena banyak fashal (pemisah) di antara surat-surat tersebut dengan basmalah (al-Zarqani, 1988 : I, 352).

JUMLAH SURAT DAN AYAT
Tampaknya tidak banyak pendapat yang bermunculan tentang jumlah surat al-Qur’an di banding dengan pendapat tentang jumlah ayat al-Qur’an. Hal ini mungkin disebabkan karena pada setiap surat dipisahkan dengan basmalah yang menjadi bagian awal setiap surat (Abu Syuhbah, 1996: 276). Sedangkan dalam menentukan jumlah ayat terdapat peluang berbeda pendapat yang bertolak dari penentuan basmalah sebagai ayat dari setiap surat dan fashilah serta ra’s al-ayat seperti yang akan dikemukakan berikutnya.
Pendapat yang paling umum diterima, jumlah surat al-Qur’an seperti dalam mushaf Usman adalah 114 surat. Tetapi pendapat yang diterima dari Mujahid surat al-Qur’an adalah 113 surat dengan menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Tawbah menjadi satu surat. Hasan, ketika ditanya apakah surat al-Bara’ah dan surat al-Anfal itu satu surat atau dua surat, menjawab “satu surat”. Ibnu Mas’ud dalam mushafnya terdapat 112 surat. Ini karena ia tidak memasukan dua surat terakhir (mu’awidzatani) (al-Sayuthi, t.t: 67; Abu Syuhbah, 1996: 288) yang oleh Montgomery Watt dikatakan sebagai jimat-jimat pendek (Watt, 1991: 91). Sementara sebagian di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa jumlah surat al-Qur’an 116. Hal ini karena mereka memasukan surat qunut yang dinamai surat al-khaf dan al-hafd yang oleh ditulis oleh Ubay di kulit al-Qur’an. (Ash-Shiddieqy, 1984: 58).
Mengenai jumlah ayat, secara umum dapat dinyatakan bahwa para ulama menghitungnya tidak kurang dari 6200 ayat. Tetapi, secara rinci mereka berbeda pendapat. Orang-orang Madinah menyuguhkan dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa seluruh ayat al-Qur’an berjumlah 6217 ayat. Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa seluruhnya berjumlah 6214 ayat. Orang-orang Mekah menghitung ayat al-Qur’an secara keseluruhan sebanyak 6220 ayat. Sedang orang-orang Kufah menyatakan 6226 ayat dan orang-orang Basrah menyatakan jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya adalah 6205 ayat. Sementara pendapat yang beredar di masyarakat awam bahwa ayat al-Qur’an seluruhnya berjumlah 6666 ayat tampaknya kurang dapat diterima. Angka ini barangkali lebih bernuansa mitos atau keramat dibanding dengan realita konkrit.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa perbedaan penetapan basmalah sebagai ayat dari surat-surat al-Qur’an atau tidak menyebabkan ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah ayat al-Qur’an. Seperti yang dinyatakan oleh Hamka, ada dua pendapat tentang basmalah ini. Sebagian besar sahabat dan ulama salaf berpendapat bahwa basmalah adalah ayat pertama dari setiap surat. Dari golongan sahabat yang berpendapat demikian antara lain: Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Umar dan Abu Hurairah. Sedangkan dari golongan ulama salaf antara lain: Ibnu Katsir, al-Kasa’i, al-Syafi’i, al-Tsauri dan Ahmad. Sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa basmalah bukan ayat pertama dari setiap surat, tetapi hanya sebagai pemisah antara satu surat dengan surat lainnya. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik dan al-Auza’i. (Hamka, 1982: 74).
Di samping itu, serta penentuan fashilah dan ra’s al-ayat juga menjadi sebab perbedaan pendapat ulama dalam menghitung jumlah ayat. Fashilah adalah istilah yang diberikan kepada kalimat yang mengakhiri ayat dan merupakan akhir ayat. Sedangkan ra’s al-ayat adalah akhir ayat yang padanya diletakkan tanda fashal (pemisah) antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Fashilah ini terkadang berupa ra’s al-ayat dan terkadang tidak. Dengan demikian, setiap ra’s al-ayat adalah fashilah dan tidak setiap fashilah adalah ra’s al-ayat (Manna’ al-Qaththan, tt: 153). Fashilah dan ra’s al-ayat ini mungkin mirip dengan sajak, seperti yang dikenal dalam ilmu Badi’ (stalistik). Tetapi ulama tidak menggunakan istilah sajak karena al-Qur’an bukan karya sastrawan atau ungkapan para nabi, tetapi adalah wahyu Allah yang tentu lebih tinggi kedudukannya dibanding sajak. Di samping itu, fashilah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah meruntutkan makna dan bukan fashilah itu sendiri yang dimaksud. Sementara sajak, maka sajak itu sendiri yang dimaksudkan (dalam suatu perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu dialihkan kepadanya, sebab hakikat sajak ialah menguntai kalimat dalam satu irama.

SUSUNAN SURAT DAN AYAT
Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surat-surat al-Qur’an. Ada tiga pendapat yang muncul tetang persoalan ini, yaitu: pertama, susunan surat-surat al-Qur’an seluruhnya berdasarkan petunjuk Rasul (tawqifi). Kedua, susunan surat-surat al-Qur’an adalah ijtihad para sahabat; dan ketiga, susunan surat-surat al-Qur’an sebagian bersifat tawqifi dan sebagian lagi adalah ijtihad sahabat.
Pendapat yang pertama ini didukung oleh ulama-ulama seperti Abu Ja’far bin Nuhas, Ibnu al-Hasr dan Abu Bakar al-Anbari (Abu Syuhbah, 1996: 293). Alasan yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Syaibah bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat al-mufashshal dalam satu rakaat menurut susunan mushaf al-Qur’an. Di samping itu juga pernyataan Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa ia pernah menyebutkan surat Makiyah, surat Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha dan al-Anbiya’ yang pertama kali ia pelajari—secara beruntut seperti urutan sekarang ini (Manna’ Qathahan, tt: 141). Al-Zarqani menambahkan alasan golongan ini dengan mengatakan bahwa para sahabat telah sepakat terhadap mushaf Usman dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang berkeberatan atau menyangkalnya. Kesepakatan ini tak terjadi kecuali karena pengumpulan ini sifatnya tawqifi. Sebab bila seandainya berdasarkan ijtihad maka para sahabat tentu akan berpegang teguh pada pendapat mereka yang berlainan. (al-Zarqani, 1988: I, 355).
Pendapat kedua dinisbahkan kepada imam Malik (Muhammad Bakar Al- Ismail, tt: 67). Dan al-Zarqani menyebut bahwa pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama dan termasuk di dalamnya seperti al-Qadhi dan Abu Bakar (Al-Zarqani, 1988: I, 355 )Argumen pendapat ini adalah adanya beberapa mushaf pribadi beberapa orang sahabat yang sistematika surat tersebut saling berbeda satu sama lain. Mushaf Ibnu Mas’ud misalnya, dimulai dengan surat al-fatihah, al-Baqarah, an-Nisak, Ali Imran dan seterusnya. Demikian juga dengan mushaf Ubay. Mushaf Ali disusun berasarkan urutan turunnya ayat, karenanya dimulai dengan surat al-Alaq, kemudian al-Mudaststir, Nun, Qalam dan seterusnya(Manna al-Qattan, tt: 142).
Ketika Usman ditanya oleh para sahabat, kenapa ia mengambil kebijaksanaan untuk menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Bara’ah menjadi satu dengan tidak meletakkan basmalah di antara kedua surat tersebut, ia menjawab bahwa itu hanya perkiraannya karena kisah yang terdapat dalam surat al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat al-Bara’ah. Dan Rasulullah sampai akhir hayatnya tidak menjelaskan bahwa surat al-Bara’ah merupakan bagian dari surat al-Anfal (al-Zarqani,1988: I, 354).
Pendapat ketiga beralasan dengan adanya beberapa hadis yang menunjukkan bahwa sebagian surat-surat al-Qur’an tertibnya berdasarkan petunjuk Rasul dan juga pada sisi lain terdapatnya beberapa mushaf sahabat yang susunan surat-suratnya berlainan. Abu Muhammad Ibnu Athiyah mengatakan bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an diketahui susunannya pada masa nabi seperti al-Sab’u al-Thiwal dan Mufasshal, sedangkan sebagian lain adalah berdasarkan ijtihad para sahabat nabi (al-Zarqani, 1988: I, 357).
Dari ketiga pendapat yang dikemukakan di atas Manna’ al-Qaththan cenderung pada pendapat yang pertama, karena menurutnya pendapat ini lebih kuat dari pendapat lainnya. Terhadap argumen pendapat kedua ia mengatakan bahwa adanya beberapa mushaf pribadi sebagian sahabat yang berbeda itu merupakan hasil ikhtiar mereka sendiri sebelum al-Qur’an dikumpulkan (Manna’ al-Qaththan, tt: 144).
Tetapi penulis secara pribadi cenderung pada pendapat al-Baihaqi yang juga diikuti oleh al-Sayuthi (t.t: 65) yang mengatakan bahwa susunan surat al-Qur’an pada dasarnya adalah tawqifi, hanya surat al-Anfal dan al-Bara’ah yang hanya ijtihad para sahabat. Hal ini karena secara jelas terlihat adanya ijtihad Usman seperti yang disebutkan dalam hadis di atas. Di samping itu al-Qur’an sebelumnya telah turun ke lauh mahfudh dan telah berupa kitabyang tentunya tersusun secara sistematis. Namun demikian, terlepas dari perbedaan tertib surat tersebut, sistematika surat tidaklah mengindikasikan suatu kemestian dan keharusan orang membaca dan mempelajari sesuai dengan susunan surat tersebut.
Adapun tertib ayat al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan al-Sayuthi—disepakati urutannya berdasarkan tawqifi dari Rasul. Karena setiap kali turun ayat nabi selalu memberikan petunjuk supaya meletakkan ayat tersebut pada tempat tertentu atau pada surat yang di dalamnya disebutkan seperti ini. Usman bin Abi al-Ash mengatakan:
Saya duduk di samping Rasul, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula kemudian memerintahkan aku meletakan ayat ini di tempat ini surat ini.
Ibnu Zubair berkata, aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat 23 surat al-Baqarah telah dimansukhkan oleh ayat lain, tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan. Beliau menjawab: “Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya”.
Di samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Muhammad setiap tahun pada bulan Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada tahun-tahun terakhir hidup Muhammad saw. Pengulangan Jibril terkahir ini adalah seperti susunan surat-surat al-Qur’an yang dikenal sekarang.
Baik surat-surat maupun ayat-ayat, selalu mempunyai korelasi (munasabah). Penjelasan tentang korelasi surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an biasanya dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir.

SURAT DAN AYAT YANG PERTAMA TURUN
Tampaknya tak ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang bulan turunnya al-Qur’an pertama kali. Semua mereka sepakat menyatakan bahwa al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Surat al-Baqarah 185, surat al-Dukhan 1-6 dan surat al-Qadr menuntun para pakar ilmu al-Qur’an menyatakan al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ayat dan surat yang pertama sekali turun. Setidaknya ada empat pendapat yang berkembang tentang ini.
Pendapat pertama, yang dipandang oleh Manna’ al-Qaththan sebagai pendapat yang terkuat, mengatakan bahwa ayat al-Qur’an yang pertama kalinya diturunkan adalah ayat 1 sampai 5 surat al-‘Alaq, yang turun di Gua Hira. Pendapat ini didukung oleh hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis—Bukhari dan Muslim—serta ahli hadis lainnya. Pendapat kedua, ayat yang pertama kali turun adalah ayat-ayat surat al-Mudatsir. Pendapat ini juga berdasarkan hadis, yakni hadis dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Jabir ketika ia ditanya tentang ayat yang pertama diturunkan. Ia menjawab al-Mudatsir. Hadis ini juga diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis. Pendapat ketiga menyatakan ayat yang pertama kali turun adalah surat al-Fatihah. Sedangkan pendapat keempat menyatakan basmalah sebagai ayat yang pertama sekali turun, dengan alasan karena basmalah merupakan turun mendahului setiap surat. (Manna’ Qaththan: 67).
Pendapat pertama tampaknya memang lebih kuat sebab boleh jadi Jabir tidak mendengar kisah permulaan turunnya wahyu sehingga ia menyangka bahwa surat al-Mudatstsir adalah ayat al-Qur’an yang pertama turun. Sebab surat al-Mudatstsir adalah surat yang turun setelah ayat 1-5 surat al-‘Alaq—setelah wahyu terhenti beberapa lama. Di samping itu, hadis Jabir sendiri juga mengindikasikan bahwa al-Mudatstsir turun setelah peristiwa yang terjadi di Gua Hira. Nabi melihat malaikat yang pernah datang kepadanya di langit. Karena ketakutan ia segera pulang dan meminta Khadijah untuk menyelimutinya dan kemudian turunlah ayat: “Wahai orang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan”.
Sedangkan dalam menetapkan ayat yang terakhir turun para ulama juga tidak sepakat. Dari beberapa pendapat yang banyak berkembang dapat dicatat bahwa ayat yang terakhir turun adalah: surat al-Baqarah ayat 278, 281, 282; Ali Imran ayat 190; al-Nisa’ ayat 93, 176; al-Maidah ayat 3; al-Tawbah ayat 128 dan surat al-Nashr.
Menarik untuk diamati bahwa komentar-komentar sekitar ayat yang terakhir turun disandarkan kepada hadis-hadis sahabat (hadis mawquf). Mungkin sekali ini adalah apa yang mereka dengar dari Rasul, tetapi juga mungkin ijtihad mereka sendiri. Akan tetapi, surat al-Maidah ayat 3 tampaknya paling tepat untuk menunjukan ayat terakhir kali turun dari seluruh ayat-ayat al-Qur’an. Sebab pada lahirnya ayat ini mengindikasikan telah sempurnanya agama dalam artian seluruh perundang-undangan telah ditetapkan. Dan telah dinyatakan pula Allah telah mencukupkan nikmat-Nya serta telah redha pada Islam, agama yang dibawa Muhammad saw. Sedangkan ayat-ayat lain yang dinyatakan sebagai ayat yang terakhir turun selain surat al-Maidah tersebut di atas mungkin sekali terkait dengan sesuatu konteks seperti ayat terakhir turun tentang riba, perundang-undangan, dan lain-lain sebagainya.

SURAT/AYAT MAKIYYAH DAN MADANIYYAH
Seperti yang telah dikemukakan, bahwa alat identifikasi kronologis surat atau ayat untuk kepentingan penafsiran dan pemahaman adalah Makiyyah dan Madaniyyah. Persoalan ini tampaknya bagian yang penting dan tak dapat diabaikan begitu saja. Itu sebabnya pakar-pakar tafsir diharuskan untuk memiliki pengetahuan tentang surat atau ayat Makiyyah dan Madaniyyah. Dapat ditegaskan bahwa surat atau ayat Makiyyah adalah surat atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun ayat atau surat tersebut turun di luar Mekah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat yang turun dalam perjalanan hijrah. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah adalah ayat-ayat diturunkan setelah hijrah, meskipun turunnya di luar Madinah, termasuk dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang turun dalam perjalanan dari Hudaibiyah (Abu Syuhbah, 1992, 198).
Pada mushaf Usman istilah Makiyyah dan Madaniyyah lebih ditujukan kepada surat-surat al-Qur’an, bukan ayat-ayatnya, meskipun sebenarnya yang menjadikannya surat Makiyyah dan Madaniyyah adalah ayat-ayatnya. Identifikasi yang lebih ditujukan kepada surat-surat dan bukan kepada ayat-ayat dapat diterima dan tampaknya cukup relevan untuk surat-surat pendek yang terdiri dari 3 sampai 10 ayat. Tetapi untuk surat-surat yang panjang tampaknya tidak dapat digeneralisir, karena dalam surat Makiyyah boleh jadi terdapat ayat-ayat Madaniyyah. Dalam surat al-An’am misalnya, yang diidentifikasi sebagai surat Makiyyah terdapat ayat Madaniyyah yang menurut keterangan Ibnu Abbas adalah ayat 151-153. (Manna’ al-Qaththan, t.t: 155).
Kajian kronologis ayat juga menarik perhatian para orientalis semisal Theodor Noldeke, Friedrich Schwally, dan lain-lain hingga menjadi bahan kajian serius. Tetapi, menurut Watt, terdapat perbedaan pijakan utama untuk penanggalan ayat-ayat al-Qur’an oleh mereka dengan para sarjana muslim. Jika sarjana muslim adalah hadis-hadis dan pernyataan para pengkaji al-Qur’an yang belakangan, maka teori kesarjanaan Barat dalam menyusun kronologi surat atau ayat-ayat dilakukan dengan memperhatikan bukti-bukti, yaitu rujukan yang tampak dalam al-Qur’an sendiri. Menurut Watt, pijakan utama sarjana Muslim sangat tradisional dan memilik banyak kelemahan. Ia mengemukakan hadis yang tampaknya tidak kosisten dalam menentukan ayat yang pertama turun yakni hadis Aisyah dan Jabir seperti yang telah dijelaskan di atas. (Watt, 1991: 173-175).
Pernyataan Watt ini tentu tak dapat diterima sepenuhnya. Pertama, sarjana muslim tidaklah mengabaikan bukti-bukti internal dan hanya berpijak pada hadis-hadis atau pernyataan sarjana yang datang belakangan. Hal ini terlihat pada kesimpulan mereka bahwa perbedaan ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah juga dilihat dari sisi gaya bahasa al-Qur’an, seperti ayatnya pendek-pendek dan berirama. Kedua, Watt tampaknya mengambil kesimpulan atas kajiannya yang belum selesai dan tuntas, atau sama sekali tak pernah melakukan kajian atas hadis Aisyah dan Jabir tersebut, seperti apa yang disuguhkan oleh sarjana-sarjana muslim.

HURUF-HURUF MUQATHTHA’AH
Satu hal yang menjadi ciri khas al-Qur’an adalah adanya huruf-huruf muqaththa’ah (huruf-huruf yang terpisah) yang memulai suatu surat (fawatih al-suwar). Dalam al-Qur’an terdapat 29 surat yang menggunakan huruf-huruf tersebut sebagai pembuka surat. Huruf-huruf ini hanya muncul sekali secara tunggal, namun huruf-huruf ini juga muncul bersama dengan huruf lain sebagai pembuka surat yang lain. Dari 29 huruf hijaiyah, hanya 14 huruf yang digunakan sebagai pembuka surat, yaitu: ا ج ر ع س ص ط ق ك ل م ن هـ ي dalam 29 surat. Dari 14 huruf ini 3 huruf yang berdiri sendiri sebagai pembuka surat, yakni ص pada surat Shad, ق pada surat Qaf dan ن pada surat al-Qalam Sedang selebihnya merupakan kombinasi dari beberapa huruf. Lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini:
Tabel Fawatih al-Suwar pada Surat al-Qur’an
Fawatih al-Suwar Nama Surat
الم Al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan al-Sajadah
المص Al-A’raf
الر Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Hijr
المر Al-Ra’d
كهيعص Maryam
طه Tha ha
طسم Al-Syu’ara, al-Qashahs
طس Al-Naml
يس Yasin
ص Shad
حم Al-Mu’min, Fushshilat, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf
حمعسق Al-Syura
ق Qaf
ن Al-Qalam
Sebagian orang percaya bahwa huruf-huruf tersebut merupakan simbol rahasia antara si pembicara dengan si pendengar, yaitu Tuhan dan Nabi saw, sebagai suatu yang berada di luar pemahaman orang awam. Contoh ini dapat dilihat pada kode-kode yang disusun antara dua orang yang tidak ingin orang lain mengetahui masalah apa yang mereka bicarakan. Pendapat lain mengatakan bahwa huruf ini adalah nama dari surat-surat yang bersangkutan. Ada juga yang menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut merupakan sumpah yang diucapkan atas nama huruf-huruf pendek sebagaimana disebut dalam al-Qur’an nama wujud lain dari ciptaan Tuhan seperti matahari, bulan, bintang, malam, siang dan lain-lain sebagainya (Muthahari, 1992: 42).
Orientalis seperti Hirschfeld, dalam keputusasannya, mencoba menemukan makna huruf-huruf ini. Ia memandang bahwa huruf-huruf tersebut sebagai singkatan dari nama-nama sahabat. Huruf ص adalah singkatan dari nama Hafsah,ك dari nama Abu Bakar, dan م dari Usman. Tetapi, seperti yang dikatakan Watt bahwa penjelasan seperti ini menjadi lebih pelik Sebab untuk surat dua dan tiga yang dimulai dengan huruf dikatakan Hirschfeld sebagai singkatan dari nama al-Mughirah sebagai orang yang mengumpulkannya, dan kenapa pengumpulannya bergantung hanya pada satu orang (Watt: 98).
Tampaknya dari berbagai penafsiran terhadap huruf-huruf ini tak ada yang memuaskan dan tak mempunyai alasan yang cukup kuat. Karena itu penulis menyatakan bahwa huruf-huruf ini tampaknya tetap menjadi huruf-huruf misterius.

PENUTUP
Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama seputar surat-surat dan ayat al-Qur’an baik dari segi jumlah maupun susunan surat-surat atau ayat tidak mengurangi validitas al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang orisinil. Demikian juga pembagian al-Qur’an ke dalam surat dan ayat yang tidak sama panjang dan pendeknya, surat-surat yang paling pendek sekalipun seperti surat al-Kawtsar yang hanya terdiri dari tiga ayat, tidaklah mengurangi kemukjizatannya. Semua surat-surat al-Qur’an, baik yang panjang maupun yang pendek sama dalam hal kemukjizatannya.
Di sisi lain, perlu dicatat di akhir tulisan ini bahwa sistematika mushaf Usman harus mendapat tempat yang lebih tinggi dari sistematika mushaf pribadi, yang berbeda sistematikanya, karena telah diyakini bahwa sistematika mushaf Usman merupakan ijmak pada sahabat dan telah nyata pula tak ada sahabat yang membantahnya.



DAFTAR RUJUKAN
Manna’ Qaththan, tt: 126; al-Zanjani, 1986: 85).
al-Zarqani,1988: I, 352.
Manna’ al-Qaththan, tt: 154).

0 comments:

Post a Comment